Minggu, 21 Februari 2016

jumadil awwal: merenung di tengah kejumudan

jumadil awwal: merenung di tengah kejumudan

majalah hidayah edisi 48 juli 2005

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS.At-Taubah:36).

Dari ayat di atas, kita tahu bahwa bilangan bulan dalam kalender Islam ada dua belas bulan dalam masa satu tahun. Nama kedua belas bulan itu, antara lain; Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Zulkaedah dan Zulhijah. Dalam ayat itu pula, disebukan kalau di antara dua belas bulan, ada empat bulan terlarang, yaitu; Zulkaedah, Zulhijah, Muharram dan Rajab.

Disebut “bulan terlarang”, karena empat bulan itu adalah bulan-bulan yang dihormati dan selama bulan itu orang dilarang berperang kecuali jika diserang, juga dilarang membunuh binatang darat buruan untuk menjamin kelangsungan kehidupan makhluk, suaka margasatwa (QS. Al-Baqarah [2]:217, QS. At-Taubah [9]: 2 dan QS. Al-Maaidah [5]: 96).

Empat bulan terlarang tersebut juga sudah berlaku semenjak purbakala sampai pada zaman Nuh, Ibrahim, Musa dan masa nabi hingga menjadi tradisi berkelanjutan, dan kita tidak mengetahui alasan penamaannya, tetapi adanya dapat difahami dari beberapa Ayat Suci, antara lain QS. Al-Baqarah [2]: 197 yang menerangkan pelaksanaan ibadah Haji. Penamaan keempat bulan itu telah kita terima secara sambung-bersambungan selaku Uswah Hasanah.

Meskipun empat bulan tersebut disebut-sebut sebagai bulan terhormat, namun bukan berarti bulan-bulan yang lain kurang mendapatkan tempat di sisi Allah. Sebab, diciptakannya bulan tak lain adalah untuk menentukan jatuhnya puasa, hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), haji dan ibadah-ibadah sunnah lain. Atas dasar itulah, bulan Jumadil Awwal yang sekarang ini kita masuki, bukanlah bulan yang tanpa makna tentunya.

Bulan Jumadil Awwal adalah bulan kelima dalam kalender hijriyah. Adapun untuk nama bulan Jumadil Awwal, sebenarnya sudah terjadi sebelum Islam datang. Sebab sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah memakai kalender lunisolar, yaitu kalender lunar (berdasarkan perputaran bulan yang mengelilingi bumi) yang disesuaikan dengan matahari.

Dari model kalender itu, awal tahun (Ra's as-Sanah) berlangsung setelah berakhirnya musim panas, sekitar bulan September dan untuk bulan pertama dinamai Muharram, sebab pada bulan itu suku atau kabilah di Semenanjung Arabia mengharamkan peperangan. Pada bulan Oktober, karena daun-daun menguning berjatuhan sehingga bulan itu dinamai Shafar ("kuning"). Bulan November dan Desember pada musim gugur (rabi') berturut-turut dinamai dengan Rabi'ul-Awwal dan Rabi'ul-Akhir.

Sementara itu, di bulan Januari dan Februari merupakan musim dingin (jumad atau "beku") sehingga dinamai Jumadil-Awwal dan Jumadil-Akhir. Arti jumud dan beku itu juga terdapat dalam Kamus Al-Munawwir karya dari KH Munawwir dan Kamus Bahasa Arab Munjid (1952) karya dari Lois Ma’luf. Lalu, salju mencair (Rajab) pada bulan Maret. Bulan April di musim semi merupakan bulan Sya'ban (syi'b=lembah) saat turun ke lembah-lembah untuk mengolah lahan pertanian atau menggembala ternak. Pada bulan Mei suhu mulai membakar kulit lalu suhu meningkat di bulan Juni. Itulah bulan Ramadhan ("pembakaran") dan Syawwal ("peningkatan"). Bulan Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang duduk di rumah dari pada bepergian, sehingga bulan ini dinamai Dzul-Qa'dah (qa'id = duduk). Akhirnya, Agustus dinamai dengan bulan Dzulhijjah sebab pada bulan itu masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim a.s.

Nama-nama tersebut, toh tetap digunakan meski dalam penanggalan Islam tak lagi tergantung kepada perjalanan matahari. Dengan kalat lain, nama-nama bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah tetaplah digunakan, karena sudah terlanjur populer di masyarakat, bulan-bulan tersebut bergeser setiap bulan dari musim ke musim, sehingga Ramadhan tidak selalu jatuh pada musim panas dan Jumadil-Awwal tidak pula selalu jatuh pada musim dingin. Jadi, soal penamaan bulan Jumadil Awwal sudah terjadi sebelum Islam datang dan itu didasarkan pada kalender lunar (berdasarkan pada perputaran bulan mengelilingi bumi) disesuaikan dengan matahari. Kepopuleran nama itu juga terus berlanjut, termasuk bulan Jumadil (awwal dan Akhir).

Demikianlah, setidaknya sejarah akan penamaan dan arti dari bulan Jumadil Awwal. Sebuah bulan “kebekuan” karena dalam musim dingin, tetapi tidak harus membuat kita beku berpikir, diam berpangku tangan, malas dalam bekerja apalagi sampai berleha-leha saja dalam melewati bulan tersebut. Sebab, nabi Muhammad tidak mengajarkan umatnya untuk beku dalam berpikir. Malah pada bulan Jumadil Awwal itu, dalam sejarah perjalanan nabi sempat tercatat pernah berperang dan melakukan perjalanan yang cukup jauh.

Saat itu, untuk kesekian kalinya Rasulullah mengadakan penyerangan terhadap kaum Quraisy (perang al-`Usyairah). Nabi bersama pasukan kaum muslim berjalan melintasi daerah Bani Diinar, melintasi daerah Al-Khaibar dan singgah di bawah pohon di tanah lapang milik Ibnu Azhar. Di tempat itu Rasul sempat mengerjakan shalat dan membangun sebuah masjid. Tempat itu, dikenal Atsaafi Al-Burmah. Kemudian Rasulullah berjalan meninggalkan orang-orang di daerah Yasar (nama tanah dekat Madinah milik Abdullah bin Ahmad bin Jahsy) dan melintasi jalan di sela-sela perbukitan bernama bukit Abdullah. Lalu berbelok ke kiri hingga sampai ke daerah Yalyal dan singgah di perkampungan penduduk Adh Dha-buu'ah.

Selanjutnya beliau melintasi Al-Farasy atau Farasy Milal dan sampai di persimpangan Shukhairat Al-Yamam. Beliau berbelok dan sampai di Al-Usyairah, nama sebuah tempat di Yanbu'. Beliau berada di sana pada bulan Jumadil Ula dan beberapa malam di bulan Jumadil Akhir. Bani Mudallaj dan sekutunya dari Bani Dhamrah melepas beliau hingga kembali ke Madinah tanpa menemui halangan apapun

Selain itu, sejarah Islam juga mencatat Fatimah Az-Zahra, yang mati sahid di bulan Jumadil Awwal (13 Jumadil Awwal 11 H). Juga, Ibnu Abdussalam, seorang ulama fiqih, hakim dan khatib kaum muslimin Kairo, wafat 22 Jumadil Awwal tahun 660 Hijriah dan Ibnu Haj, seorang ulama besar di bidang fiqh wafat 20 Jumadil Awwal tahun 737 Hijriah. Dari situ, kita sudah selayaknya meneruskan perjuangan mereka mengibarkan bendera Islam, apalagi kita sekarang ini hidup dalam kebekuan zaman. Karenanya, jadikanlah bulan Jumadil Awwal ini sebagai pintu merenung di tengah kejumudan zaman.